Saksi Bisu Jakarta

Pagi yang cerah. Matahari terbangun dari tidurnya. Membangunkan segenap insan di kota Jakarta. Burung-burung riuh berkicau. Pertanda kehidupan kota Jakarta dimulai. Lampu-lampu di ibukota mulai mati, berganti dengan kemilau cahaya Matahari.

Aku mulai membuka mata. Mengamati tiap aktifitas masyarakat Jakarta. Satu persatu manusia keluar dari tempat tinggalnya. Mereka menaiki berbagai jenis benda yang mereka sebut kendaraan. Suasana di sepanjang jalan Thamrin mulai ramai.

Beragam jenis kendaraan berlalu-lalang melintas di sampingku. Ada yang bentuknya kotak dengan empat buah lingkaran di depan dan belakang. Mobil, itulah sebutan mereka untuk benda itu. Ada juga yang berbentuk kecil dengan dua buah lingkaran dan benda-benda panas berwarna abu-abu yang biasa mereka sebut motor.

Tepat di bawahku, terlintas sebuah benda amat besar berbentuk persegi panjang dengan empat buah lingkaran yang amat besar. Di dalam benda itu tampak beberapa manusia saling berdiri dan berpegangan pada sebuah benda di atas kepala mereka. Pada bagian badan benda itu, tertulis kata PPD, Metromini, Kopaja dan Trans Jakarta.




Satu jam berlalu. Aku masih berdiri kokoh di jalan Thamrin. Jalanan di sampingku kini bertambah ramai. Mobil-mobil berjejer tanpa barisan menunggu datangnya lampu hijau. Di setiap sudut jalan, tampak motor-motor berhenti tak beraturan. Beberapa PPD, Metromini dan Kopaja berhenti seenaknya di sisi jalan untuk mengangkut penumpang. Ulah mereka menambah parah kemacetan di kota ini. Anak- anak kecil didampingi oleh orangtuanya berusaha menyebrangi jalanan yang kacau itu. Namun tak berhasil. Berkali-kali mereka hamper tertabrak kendaraan yang melintas.

Pak polisi sibuk meniup peluit dan mengayunkan tongkatnya. Ia berusaha mengarahkan laju kendaraan agar teratur. Sesekali ia menegur beberapa orang yang melanggar peraturan. Ia juga sibuk mengatur motor-motor yang tak mau berhenti di lampu merah. Anak kecil dan orang tua yang hendak menyebrang itu, tak lupa ia bantu. Bukannya pujian dan ucapan terimakasih yang ia peroleh. Namun caci maki dan umpatanlah yang ia dapatkan dari para pengemudi kendaraan. Ia hanya tersenyum pasrah menerima cibiran para pemakai jalan itu dengan hati lapang.

Aku tersenyum miris melihatnya. Begitu besarkah ego mereka hingga peraturan dilanggar demi kepentingan mereka semata? Begitu kah balasan mereka atas jerih payah pak polisi yang berusaha mengatur kerumitan di jalanan? Teganya mereka mencaki-maki orang yang menjalankan tugasnya dengan baik! Ku rasa mata mereka telah buta dengan sejuta kepentingan. Ya, sejuta kepentingan pribadi yang harus segera diselesaikan di sebuah tempat yang biasa mereka sebut kantor.


Matahari beranjak naik ke atas. Jalanan di sekitarku bertambah padat. Penuh sesak dengan mobil, motor dan bus-bus kota yang menjejali setiap ruang di jalan ini. Hiruk-pikuk suara knalpot pengendara kendaraan bermotor bersaing dengan bunyi klakson mobil yang kesal akibat ulah supir bus yang berhenti seenaknya di pingir jalan. Kupingku pengang dibuatnya.

Ah, dasar! Supir angkot tidak tahu diri. Tidakkah ia mendengar suara nyaring klakson mobil itu? Tidakkah ia sadar ulahnya itu membuat jalanan semerawut? Bukankah pemerintah sudah membuat banyak tempat untuk menaikkan penumpang ?
Memang, semua itu bukan seratus persen salah supir bus. Tempat yang disebut halte itu sudah tidak layak pakai lagi kondisinya. Atapnya bolong-bolong. Kursinya telah copot. Bau pesing tercium dimana-mana. Pantas saja kebanyakkan penumpang enggan menunggu di halte. Mereka memilih untuk menghentikan bus di tempat yang mereka suka.

Tetapi, kesemerautan juga bukan salah pemerintah seratus persen. Tidak lihatkah penumpang dan supir angkot itu tanda dilarang berhenti yang terpajang dengan manisnya di situ? Jadi sebenarnya kemacetan itu salah siapa? Salah supir angkot? Salah penumpang? Atau salah pemerintah?

Entahlah. Belum sempat aku berpikir, mataku tertuju pada seorang bocah laki-laki. Ia berusia sekitar enam tahun. Bocah itu bertubuh kurus, berkulit coklat dan berambut pirang. Pakaiannya lusuh, penuh debu. Tangannya yang kecil membawa sebuah bungkus bekas permen.

Ia berdiri di antara kerumuman mobil yang sedang berhenti karena macet. Dari bibirnya yang mungil itu, terdengar alunan musik pop yang sedang ngetren di televisi. Selesai menyanyi, bocah laki-laki itu mengulurkan bungkusan permen itu ke jendela mobil. Kaca mobil terbuka dan dua keping uang receh jatuh ke dalam bungkusan.

Bocah laki-laki itu tersenyum dan beranjak pergi ke mobil lainnya. Ia melakukan hal yang sama dengan sebelumnya. Terus berulang-ulang. Bocah-bocah lain satu persatu keluar dan melakukan hal yang sama dengan bocah laki-laki tadi. Sengatan Matahari Jakarta yang semakin menggila tak mereka gubris.

Kasihan sekali mereka. Di usia yang masih belia, mereka harus bekerja dan merasakan pahit getirnya kehidupan. Harusnya mereka sekarang tertawa riang bersama dengan kawan-kawannya di sekolah. Sekolah adalah tempat yang seharusnya mereka tuju. Tempat dimana mereka bisa didik agar tidak buta huruf dan menjadi pintar. Hingga akhirnya dengan kepintaran itu, mereka bisa keluar dari kemiskinan yang mendera.

Bukan di jalanan yang penuh bahaya seperti ini. Sungguh kasihan, dunia kanak-kanak mereka telah terenggut oleh kemiskinan. Aku hanya bisa tersenyum simpul melihat beban hidup mereka.
Kali ini aku memutar mata ku ke arah barat. Tampak di sana ada sebuah bangunan megah dan tinggi menjulang. Pada dindingnya tertempel sebuah tulisan Plaza Indonesia. Mobil-mobil mewah masuk dan keluar dari dalam bangunan itu. dari dalam mobil itu, keluar beberapa wanita yang berpenampilan mewah dengan pakaian, sepatu dan aksesoris yang berbranded buatan luar negri. Wajah mereka penuh dengan dempul dan riasan warna-warni yang mencolok. Aroma parfum mahal tercium dari tubuh mereka. Ketika memasuki bangunan itu, mereka sibuk berbelanja dan menghambur-hamburkan uang mereka yang unlimited itu. Makanan mewah dengan nama-nama yang berbahasa asing tersaji di depan mereka.

Sungguh pemandangan yang kontras. Di satu sisi wanita itu dengan mudah menghambur-hamburkan uang yang mereka punya dengan sekali tunjuk. Makanan pun melimpah ruah. Namun di satu sisi bocah laki-laki itu harus berpeluh keringat menerobos sengatan Matahari Jakarta demi sesuap nasi. Ia bahkan rela menukar masa kanak-kanaknya untuk bertahan hidup.
Hatiku ngilu melihatnya. Andai saja pakaian mewah dan makanan wanita itu ditukar sebagian dengan uang. Lalu uang itu mereka beri pada bocah kecil yang lusuh itu. Pasti sekarang bocah kecil itu bisa tersenyum bahagia menikmati masa kecilnya di bangku sekolah.

Huf. Aku menghela nafas. Menyaksikan penderitaan rakyat Indonesia saat ini. Sia-sia sudah perjuangan seluruh pahlawan dimasa lalu, merebut kemerdekaan. Kini, walau bangsa ini telah merdeka, namun kehidupan rakyatnya masih terbelenggu dengan kemiskinan dan kebodohan.

Bangsa ini belum sepenuhnya merdeka. Rakyat masih terjajah secara kasat mata. Mau bukti? Tengok saja ke dalam pusat perbelanjaan. Puluhan merek-merek buatan luar negri dijual di sana. Merek-merek itu amat digilai dan dicintai oleh masyarakat Indonesia. Bangga dan menambah gengsi rasanya jika memakai merek luar negri. Ironisnya jika memakai merek buatan sendiri, akan merasa malu, kampungan dan murahan. Padahal merek buatan sendiri mutunya tidak kalah bagus. Dimana rasa nasionalisme mereka? Tidak ingatkah mereka dengan Sumpah pemuda yang pernah mereka ikrarkan dimasa lalu?

Aku menarik nafas dalam-dalam. Tapi, sedetik kemudian aku terbatuk-batuk dengan kerasnya. Angin semilir yang kuhirup tadi terasa menusuk paru-paruku.Aku terkejut dan menyadari kalau aku telah teracuni. Asap hitam pekat dari knalpot kendaraan-kendaraan di bawahku membuat ngilu paru-paruku. Belum lagi udara panas dan asap pabrik industri bertebaran di sekelilingku. Semuan racun-racun itulah yang membuatku terbatuk dengan kerasnya.

Ku tundukkan kepalaku. Mataku terbelalak. Tubuhku kini berwarna kehijau-hijauan. Padahal dulu tubuhku berwarna kemerah-merahan. Ini pasti karena ulah hujan asam yang sering mengguyur kota Jakarta. Polusi yang teramat sangat tinggi di kota ini telah mengkontaminasi tubuhku sedemikian rupa. Pantas saja burung-burung enggan bertengger dan menyapaku lagi di pagi hari. Astaga, tinggi sekali polusi di kota ini sampai-sampai burung pun enggan bertengger lagi.

Hilang sudah semangat hidupku kini. Aku merasa sudah tak ada gunanya lagi diriku. Aku masih ingat betul bapak proklamator Indonesia sengaja membuatku dengan tujuan yang mulia. Aku dibangun untuk menyambut para peserta Asian Games dan semua orang dari mancanegara yang ingin menontonnya. Lambaian kedua tanganku bermakna ucapan selamat datang bagi para duta olahraga itu. Aku bersama saudaraku, Monas adalah symbol kebanggaan bangsa Indonesia.

Namun kini aku tak berarti. Kehadiranku hanya sebatas symbol semata tanpa makna. Lambaian tangan ini entah untuk siapa. Untuk menyadarkan masyarakat Jakartakah? Untuk menyadarkan Pemerintahkah? Atau tanda minta tolong atas polusi udara dan kemacetan yang super duper parah di Jakarta?

Entahlah, siapa yang patut aku salahkan. Aku bukan penguasa atau orang penting di Negara ini. Kesemerawutan di negara ini begitu rumit hingga tak tampak ujung pangkalnya. Negara yang kaya raya dengan sumber alamnya yang melimpah ini, belum merdeka sepenuhnya. Rakyat masih terjajah dengan idealisme dan kapitalisme barat. Tapi sayangnya rakyat tidak menyadari hal itu. Generasai muda yang perlahan tapi pasti mulai melupakan budaya sendiri.

Mereka terlalu asyik mengejar modernitas dan kebanggan semu. Mereka bangga dengan semua yang berbau-bau ‘barat’ Barang-barang buatan luar negrilah. Tari-tarian modern dari baratlah. Aliran musik dari luar negrilah.

Mereka lupa dengan budaya sendiri yang lebih unggul. Sampai akhirnya kebakaran jenggot sendiri ketika negara lain dengan bangga mengklaim seenaknya budaya Indonesia satu-persatu. Kurasa nasionalisme telah pudar dalam diri mereka.

Aku terdiam. Memejamkan mata sejenak, merenungkan nasib Negara ini. Di bawahku kini tampak puluhan anak muda berpakaian warna-warni menenteng spanduk-spanduk kecil. Rangkaian kata-kata sindiran dan makian ketidak puasan kepada pemerintah tertera jelas dalam spanduk itu. Mereka berorasi dengan semangat ,memuntahkan semua aspirasi dan ketidak puasan mereka atas kinerja pemerintah.

Aku tersenyum. Ternyata generasi muda tidak seburuk yang aku bayangkan. Korupsi dan kebusukan pemerintahan telah tercium oleh mereka dan mereka berani mati demi memberantasnya. Ada secercah harapan yang muncul di hatiku. Mereka anak bangsa. Merekalah tumpuan hidup negara ini.

Wahai generasi muda, sampaikan salamku pada pemerintah. Sampaikan semua beban dan penderitaan bangsa ini pada mereka. Lambaian tanganku ini ku tunjukkan pada kalian sebagai symbol penyemangat. Agar kalian ‘bangun’ dan berani memerdekakan kembali bangsa ini. Bertindak melawan ketidakadilan. Ingatlah aku sebagai simbol perlawanan pada penguasa. Aku bukanlah penguasa dan orang penting di Negara ini, tapi aku saksi bisu penderitaan bangsa. Karena aku adalah PATUNG SELAMAT DATANG di atas Bundaran HI. 




Komentar

Postingan Populer